#Day3:Sebuah Kesempatan untuk Mencintai

3 May 2012 3 comments

Ketika kesempatan kedua datang, mempertemukanku dengan cinta pertama; tak ada lagi alasan untuk mundur selangkah dan tak mengambil kesempatan itu. Ya, manusia memang berencana, tapi tuhan yang menentukan. Ia punya rencana yang lebih baik untuk membuat cerita cinta siapapun menjadi lebih indah. 

Malam minggu ini aku sedang menilai  hasil ulangan harian murid-muridku pagi tadi, baru saja memulai mama datang ke kamarku. Ia mengajakku untuk menemaninya dan ayah ke sebuah pesta pernikahan kerabat kami, awalnya aku menolak namun aku tak sampai hati tak menuruti kemauan kedua orang tuaku tercinta. “Ayo dong na, sekali-sekali temenin ayah sama mama ke pesta, lagian kan ini pesta pernikahan sepupu kamu juga, gak enak kalau tidak datang,” bujuk mamaku. “Tapi ma, tugas ku masih banyak dan menumpuk, kalau tak dikerjakan sekarang besok aku keteteran,” jawabku mengelak. “Betul yang dibicarakan oleh mamamu na,” tiba-tiba ayah sudah berdiri di depan pintu kamarku, lalu melanjutkan “sekali-sekali keluar mencari udara segar, apalagi ini kan malam minggu, refreshing sebentar kan tak apa-apa, jangan terlalu serius lah berkutat dengan pekerjaanmu itu, seperti tak ada hari esok saja,” ayahku pun menimpali. “Kalau ayah sudah berbicara, Ana tak dapat menolak….. baiklah, aku siap-siap dulu ya ma, yah?”, jawabku malas-malasan. 

Sepuluh menit kemudian kami telah siap untuk berangkat, tempat pesta pernikahan sepupuku tak begitu jauh dari rumah, hanya cukup 10 menit saja kami sudah sampai. Begitu memasuki pesta, aku bertemu dengan teman-temanku sewaktu di SD, maka reunian mendadak pun tak terelakkan. “Hai Ren,,, Rini, apa kabar…. Udah lama gak ketemu. Seneng deh bisa ketemu kalian disini,” ujarku bersemangat. “Baik na, kami juga gak nyangka kalau Ana datang juga ke sini, kamu kapan Nyusul na? Aku sama Rini udah duluan tahun kemarin, Jangan kelamaan,” ledek Rena.
Mendengar ucapan Rena aku hanya tersenyum dan membalas dengan jawaban yang biasa aku lontarkan ketika mendapatkan pertanyaan seperti ini, ”Nanti aku juga akan segera menyusul jika sudah ketemu jodohku”. “Ah, kamu na, jawabannya selalu seperti itu, tapi aku akan berdoa supaya jodoh kamu cepat-cepat datang, dan segera menyusul kita-kita,” ujar Rini. Dan aku pun merespon doa Rini dengan mengucapkan “Amin………”. Memang di usiaku yang ke-24 aku masih sendiri, aku terlalu sibuk dengan duniaku sebagai guru dan murid-muridku, sampai-sampai aku lupa untuk merencanakan masa depanku sendiri. Banyak yang mencemaskanku, namun sebenarnya ada hal yang ingin aku selesaikan terlebih dahulu, sebelum aku memutuskan untuk menikah, yaitu memastikan bahwa masihkah ada kesempatan untukku dan cinta pertamaku?
Setelah bercanda dengan Rena dan Rini, kepalaku mendadak pusing. Aku teringat bahwa seharian ini aku belum mendapatkan asupan makanan, karena padatnya kegiatan di sekolah. Maka tubuhku oleng dan menabrak seorang pria yang berdiri tepat di belakangku, dan refleks pria itu langsung menahan tubuhku yang terjatuh. Aku tak ingat apa-apa lagi, dan saat mataku terbuka aku sudah berada di rumah. “Alhamdulillah na, kamu sudah sadar, mama cemas sekali…. Kamu tuh kebiasaan deh, kalau makan selalu ditunda-tunda, begini kan jadinya, maag kamu kambuh lagi,” protes mamaku. “Iya ma, maaf. Ana janji akan memperhatikan pola makan Ana, oya ma, semalam siapa yang menolong Ana ketika pingsan? ” tanyaku. “Oh, dia anaknya teman ayah sewaktu di SMA, untung saja dia refleks menangkap kamu sehingga kamu tidak jatuh,” jelas mamaku. “Oya, tadinya mama dan ayah mau mengenalkan kamu sama dia, eh kamunya malah pingsan,” mamaku menambahkan. “Oh,,,, begitu…..,” jawabku. Hemphh…. Ya sudahlah, mungkin lain kali aku bisa bertemu dengannya untuk kedua kalinya dan mengucapkan terima kasih karena telah menolongku tadi malam.

Dua hari kemudian kondisiku sudah pulih, dan aku sudah bisa melakukan aktifitasku seperti biasa yaitu mengajar. Dua minggu telah berlalu, kembali di malam minggu yang tenang ini aku masih berkutat dengan pekerjaanku mengecek nilai-nilai atau pun menyiapkan materi pelajaran yang akan aku ajarkan pada hari seninnya. Setelah hampir satu jam berkutat dengan pekerjaanku, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku, aku sudah bisa menebak siapa lagi yang mengetuk kalau bukan mama. Hemm….. aku merasa sedikit curiga dengan mama, rencana apa yang sedang ia persiapkan untukku, karena semenjak kejadian pingsan di pesta waktu itu mama tak henti-hentinya membicarakan tentang pria yang membantuku saat itu. “Ana,,,,, sedang sibuk tidak?”, Tanya mamaku berbasa-basi. “Tidak terlalu ma, masuk saja. Emmm…. Ada apa?”, tanyaku. “Ayah sama mama berencana untuk mengunjungi seorang teman, Ana Ikut ya?”, ajak mamaku. “harus ya ma??? Ana lagi malas keluar…..”, kali ini berusaha menolak. “Tapi na, kali ini ayah dan mama akan pergi ke rumah teman ayah yang anaknya membantumu ketika kamu pingsan di pesta waktu itu, apa kamu tidak mau bertemu dan mengucapkan terima kasih atas pertolongannya?”, mamaku berusaha membujuk dengan memberikan alasan yang membuatku tak dapat menolak, karena memang sedari awal aku ingin mengucapkan terima kasih kepada pria itu. “Oh…. Begitu? Baiklah, Ana ikut deh……, sekalian Ana ingin mengucapkan terima kasih pada pria itu,” maka aku pun bergegas untuk bersiap-siap dan mama pun keluar dari kamarku dengan sebuah senyum yang aneh, seolah-olah senyumnya itu menandakan bahwa misinya telah berhasil membujukku untuk sekali lagi keluar di malam minggu ini.
Perjalanan menuju rumah teman ayah cukup memakan waktu, sekitar 25 menit kami baru sampai di rumah yang di tuju. Rumah yang kami tuju, merupakan rumah yang cukup unik, karena warna dominan dan pernak-pernik yang menghiasi rumah ini merupakan warna kesukaan ku, yaitu biru. Warnanya begitu teduh dan membuat aku merasa sedang berada di rumah sendiri. Setelah beberapa menit melihat-lihat, teman ayah pun keluar bersama anaknya, seorang pria. Aku tak dapat melihatnya karena aku berjalan di belakang ayah. Maka, acara reunian ayah dan temannya pun berlangsung di depan rumah, masing-masing menanyakan kabar dan saling memuji. Hingga tiba saat teman ayah memperkenalkan anak laki-lakinya pada ayah, yang membuatku sedikit penasaran dan ingin segera melihatnya. Dan ketika teman ayah menyebutkan nama pria ini aku pun tersentak, otakku berfikir keras, mencari file nama-nama teman lama yang pernah mampir dalam hidupku. “Perkenalkan, ini anak aku yang laki-laki, sekarang dia udah kerja di Padang sebagai manajer pada sebuah perusahaan periklanan, namanya Gustian Rizki.” Jelas teman ayah.

“Gustian Rizki???”, aku pun mengulangi nama pria itu dan melonggok untuk memastikan pria ini adalah “Ian”. Dan benar saja, pria yang sudah menolongku pada pesta waktu itu adalah Ian. Ia pun pria yang selama ini memenuhi otakku, dan menjadi alasan kenapa sampai detik ini aku masih ingin sendiri, karena aku masih merasa ada hal yang belum aku selesaikan, masih ada yang mengganjal, masih ada cerita yang belum kuselesaikan, ianya terpotong oleh sebuah jarak yang tak kunjung mempersatukan ku dengan pria ini, cinta pertamaku pada pandangan pertama di sebuah acara seminar pendidikan mengenai Pencegahan Narkoba di kalangan Generasi Muda. Selama 7 tahun ia mengisi hari-hariku dengan sebuah pertanyaan “Masih adakah kesempatan untukku bertemu dan menyatakan perasaanku kepadanya?”.

Tujuh tahun yang lalu, aku bertemu dengan Ian dalam sebuah seminar pendidikan. Saat itu aku masih kelas 1, dan ia kelas 3 SMA. Pertemuan ku dengannya berawal dari ketidaksengajaanku menabraknya, aku yang baru pertama kali mengikuti sebuah kegiatan  di kabupaten merasa agak kebingungan ketika mencari tempat duduk, kebetulan aku terpisah dari kelompokku. Dan ketika aku melihat ada tempat duduk yang masih kosong aku mempercepat langkahku dan tanpa sadar aku dan Ian saling berebut tempat duduk dan bertabrakan. Namun sebagai seorang pria, ia memberikan tempat duduk itu kepada ku dan ia memilih untuk duduk di bangku sebelahnya. Setelah itu ia mulai bertanya tentang dari mana aku berasal, kelas berapa dan obrolan-obrolan lainnya sampai-sampai kami bertukar tanda pengenal kami saat seminar, Ian bilang “Nanti, kalau tuhan mengizinkan kita bertemu kembali, kita harus saling menunjukkan kartu pengenal ini ya?”, kata-kata inilah yang membuat aku bertahan sampai detik ini menunggu sebuah kesempatan untuk kembali bertemu dengannya. Dan sepertinya, tuhan mulai luluh melihat kesabaranku menunggu kesempatan kedua dan mempertemukanku sekali lagi dengan cinta pertamaku.

Setelah saling memperkenalkan, ayah diajak temannya untuk masuk. Pada saat itu aku melihat Ian memperhatikanku dengan seksama dan sengaja berjalan agak lambat agar berjalan beriringan denganku. Ia terus memperhatikanku, dan hal ini membuat aku sangat senang karena ini menandakan bahwa ia masih mengingatku, mungkin, namun itulah yang kuharapkan hingga akhirnya ia berteriak histeris yang membuat ayahku dan ayahnya saling kebingungan. “Emmmm…… Ana ya??!!”, Tanyanya dengan sedikit ragu. Aku tak menjawab, aku hanya menatapnya dan tersenyum. Tiba-tiba saja ia memelukku dan berkata “sudah kuduga, sejak pertama kali aku menolongmu di pesta, aku agak familiar dengan wajahmu An,”. Setelah tanpa sadar ia memelukku ia pun melepaskan pelukannya karena sadar sedang diperhatikan oleh ayahku dan ayahnya. “mmmm…. Maaf, aku terlalu senang pak bertemu dengan Ana, sehingga tanpa sadar…..”, Ian berusaha menjelaskan. Aku fikir ayah akan marah namun ia malah terlihat begitu sumringah ketika tahu kami sudah saling mengenal. “Syukurlah kalau kalian sudah saling mengenal, jadi ayah tak perlu repot-repot lagi memperkenalkan kalian,” jawab ayahku. “Kalian mengobrol saja dulu diruang tengah, kami pun juga ingin mengobrol, ayah tinggal ya Ian?” Jelas ayah ian yang langsung saja mengajak ayahku dan mama masuk ke ruang makan.

Ketika ayahku dan ayah Ian sudah masuk, aku langsung membuka dompetku, mencari kartu tanda pengenal Ian sewaktu seminar, dan ia pun sepertinya juga membuka dompetnya. Kami seperti sedang berlomba untuk mencari kartu pengenal itu dan secara bersamaan aku dan Ian menemukan kartu pengenal itu dan saling menunjukkannya. Tak ada kata yang terucap antara aku dan ian, namun mata kami berbicara seolah-olah berkata bahwa “hei, aku masih menyimpannya,” lalu kami pun tenggelam dalam cerita masa lalu dan kehidupan kami selama 7 tahun belakangan hingga hari ini. Hari di mana kami dipertemukan kembali oleh rencana tuhan dan kesempatan kedua. Setelah puas berbincang-bincang dan saling bertukar nomor handphone kami pamit untuk pulang.

Sejak saat itu, hubunganku dengan Ian semakin dekat. Ia sering menelpon atau mengesemesiku hanya untuk mengetahui kabarku. Setiap malam minggu aku tak lagi berkutat dengan pekerjaanku karena Ian akan selalu datang ke rumah untuk mengajakku jalan-jalan, makan-makan, atau mengobrol dan menghabiskan sepanjang malam minggu untuk mengganti waktu tujuh tahun yang telah terlewatkan. Enam bulan telah berlalu, hubunganku dengan Ian semakin membaik, kami memanfaatkan kesempatan ini untuk saling mengenal sampai pada suatu hari Ian melamarku. Dan hari itu merupakan hari yang paling membahagiakan dalam hidupku.

Namun sejak Ian melamarku, sikapnya agak berubah. Tatapan matanya sering terlihat kosong. Tubuhnya mungkin sedang bersamaku namun sepertinya pikirannya tidak, ada hal yang sedang ia fikirkan. Sampai pada suatu hari saat itu hari ulang tahunnya, 5 Agustus 2011. Aku berencana untuk memberikan kejutan dengan tidak memberitahunya atas kedatanganku. Dan saat itu aku melihat Ian sedang memeluk seorang wanita di ruang tengah. Pada saat itu juga hatiku hancur, inikah jawaban atas perubahan yang terjadi pada diri Ian? Ketika ia melihatku, ia langsung melepaskan pelukannya dan berusaha mengejarku. Aku memang bukan pelari yang cepat sehingga ia bisa mengejarku dan menahanku untuk menjelaskan apa yang baru saja terjadi.

“Ana, maaf. Aku tak pernah cerita padamu sebelumnya mengenai... Rika, ia adalah gadis yang selama 2 tahun belakangan ini mengisi hari-hariku, namun cintaku bertepuk sebelah tangan karena ia menyukai pria lain, ketika aku tahu bahwa ia tak mempunyai perasaan apapun padaku aku mulai mencoba membuka hatiku untukmu na,,,,” Ian berhenti sejenak, mengumpulkan segenap kekuatannya untuk melanjutkan kata-katanya dan aku berusaha untuk tak menatap matanya yang hanya akan membuat hatiku semakin pilu. “Kini, ia dalam kesulitan An, aku tak bisa membiarkan ia sendirian, aku harus berada disisinya untuk sementara waktu. Maka, aku harap Ana bisa mengerti jika rencana pernikahan kita diundur untuk beberapa bulan ke depan,” jelasnya.

            Aku tersentak, ia lebih memilih untuk bersama Rika dibandingkan denganku, aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan, yang terlintas dipikiranku saat itu hanyalah, berusaha melepaskan tangannya dari tanganku dan berkata “aku telah cukup lama dan cukup bersabar menunggu kesempatan ini datang, haruskah aku kehilangan kesempatan ini sekali lagi?? Jika ia lebih penting bagimu, pergilah…….. mungkin kau bukan untukku”, setelah mengucapkan kata-kata itu, aku pun pergi meninggalkan Ian dan Rika. Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan, jika memang Rikalah yang terbaik baginya, aku akan mendoakan untuk kebahagiaannya.

            Setahun sudah kulewati hari-hariku tanpa Ian disisiku dan seperti biasa, aku mengisi hari-hariku dengan mengajar. Ternyata anak-anak bisa menjadi obat paling ampuh untuk mengobati rasa sakit dihatiku. Ya, untuk sementara anak-anak mampu mengalihkan pikiranku dari Ian. Hingga pada suatu malam, di acara pesta ulang tahunku yang ke-25 aku menemukan jawaban mengenai pertanyaan terakhirku pada Ian, “haruskah aku kehilangan kesempatan untuk yang kedua kalinya?”. 

Tiba-tiba saja aku mendengar suara yang sangat kukenal lewat sebuah pengeras suara dari luar rumah, ya…. Itu suaranya, Ian sedang berada diluar rumahku dan membacakan sebuah surat ditengah keramaian tamu yang datang dipestaku.

Kepada, wanita yang telah mengajarkan aku tentang arti sebuah kesetiaan “Ayana Putri”: Melalui surat ini, aku memberanikan diri untuk kembali membuka sebuah kesempatan yang mungkin sudah tak lagi pantas untukku. An, aku tau aku telah menyakitimu dengan meninggalkanmu demi wanita lain. Jujur, aku tak pernah sedetik pun tak memikirkanmu, tak terlelap karena air matamu masih membekas dalam ingatanku, tak sepantasnya aku menyakiti wanita yang telah mengajarkan aku arti sebuah kesetiaan dan meyakini sebuah kesempatan yang mungkin saja tak pernah ada. Saat terakhir kali kau pergi meninggalkanku, aku pun memutuskan untuk benar-benar meninggalkan Rika karena aku sadar, berada dibawah bayang-bayang masa lalu hanya akan menyakitiku. An, mungkin aku tak pantas lagi memohon untuk sebuah kesempatan, namun aku berharap mungkin saja masih ada kesempatan ke-3, ke-4 atau lainnya untukku. Selama setahun aku mencoba untuk menantang hatiku, seberapa kuat aku bertahan tanpamu, dan kenyataanya, aku tak bisa hidup tanpamu An, dan untuk terakhir kalinya “Will You marry Me for this last change??”

Aku tak menjawab, yang kulakukan saat itu hanyalah memeluknya, itulah jawabanku atas kesempatan dan rencana yang telah tuhan berikan pada malam ulang tahunku yang indah ini.
The End

3 comments:

  • Nemo said...

    Dear Ozaaa,
    Boleh kasih masukan dikit gak hihi
    Mungkin ceritanya akan lebih catchy kalo gaya percakapannya tidak sinetron-like hehe dan mungkin Cinderella story seperti ini is a way too mainstream kayaknya, eh iya gak sih. Kamu bisa buat ending nya jadi tragedi atau untold mystery yg meninmbulkan perasaan "err" dan gak ketebak sama penbaca. Atau kalo mau happy ending bisa dibuat happy ending yg sederhana tapi manis.

    Keep on Ozaaa you roooocckkk!!! :D

  • I'm_Oz said...

    hahaha..... arigatou for the comment kaaa....
    I'll try to improve the way i write and the content...
    Well, actually i don't like sinetron, but my writing sounds sinetron-like hahaha
    Yeahhhh.... I will... keep on trying :D

Post-it Widget

Listen to the colour of your dreams.

THE BEATLES, Tomorrow Never Knows





I MUST remember

Seeing is deceiving, dreaming is believing It's okay not to be okay Sometimes it's hard to follow your heart
But tears don't mean you're losing Everybody's bruising There's nothing wrong with who you are

JESSIE J - WHO YOU ARE

#Day3:Sebuah Kesempatan untuk Mencintai


Ketika kesempatan kedua datang, mempertemukanku dengan cinta pertama; tak ada lagi alasan untuk mundur selangkah dan tak mengambil kesempatan itu. Ya, manusia memang berencana, tapi tuhan yang menentukan. Ia punya rencana yang lebih baik untuk membuat cerita cinta siapapun menjadi lebih indah. 

Malam minggu ini aku sedang menilai  hasil ulangan harian murid-muridku pagi tadi, baru saja memulai mama datang ke kamarku. Ia mengajakku untuk menemaninya dan ayah ke sebuah pesta pernikahan kerabat kami, awalnya aku menolak namun aku tak sampai hati tak menuruti kemauan kedua orang tuaku tercinta. “Ayo dong na, sekali-sekali temenin ayah sama mama ke pesta, lagian kan ini pesta pernikahan sepupu kamu juga, gak enak kalau tidak datang,” bujuk mamaku. “Tapi ma, tugas ku masih banyak dan menumpuk, kalau tak dikerjakan sekarang besok aku keteteran,” jawabku mengelak. “Betul yang dibicarakan oleh mamamu na,” tiba-tiba ayah sudah berdiri di depan pintu kamarku, lalu melanjutkan “sekali-sekali keluar mencari udara segar, apalagi ini kan malam minggu, refreshing sebentar kan tak apa-apa, jangan terlalu serius lah berkutat dengan pekerjaanmu itu, seperti tak ada hari esok saja,” ayahku pun menimpali. “Kalau ayah sudah berbicara, Ana tak dapat menolak….. baiklah, aku siap-siap dulu ya ma, yah?”, jawabku malas-malasan. 

Sepuluh menit kemudian kami telah siap untuk berangkat, tempat pesta pernikahan sepupuku tak begitu jauh dari rumah, hanya cukup 10 menit saja kami sudah sampai. Begitu memasuki pesta, aku bertemu dengan teman-temanku sewaktu di SD, maka reunian mendadak pun tak terelakkan. “Hai Ren,,, Rini, apa kabar…. Udah lama gak ketemu. Seneng deh bisa ketemu kalian disini,” ujarku bersemangat. “Baik na, kami juga gak nyangka kalau Ana datang juga ke sini, kamu kapan Nyusul na? Aku sama Rini udah duluan tahun kemarin, Jangan kelamaan,” ledek Rena.
Mendengar ucapan Rena aku hanya tersenyum dan membalas dengan jawaban yang biasa aku lontarkan ketika mendapatkan pertanyaan seperti ini, ”Nanti aku juga akan segera menyusul jika sudah ketemu jodohku”. “Ah, kamu na, jawabannya selalu seperti itu, tapi aku akan berdoa supaya jodoh kamu cepat-cepat datang, dan segera menyusul kita-kita,” ujar Rini. Dan aku pun merespon doa Rini dengan mengucapkan “Amin………”. Memang di usiaku yang ke-24 aku masih sendiri, aku terlalu sibuk dengan duniaku sebagai guru dan murid-muridku, sampai-sampai aku lupa untuk merencanakan masa depanku sendiri. Banyak yang mencemaskanku, namun sebenarnya ada hal yang ingin aku selesaikan terlebih dahulu, sebelum aku memutuskan untuk menikah, yaitu memastikan bahwa masihkah ada kesempatan untukku dan cinta pertamaku?
Setelah bercanda dengan Rena dan Rini, kepalaku mendadak pusing. Aku teringat bahwa seharian ini aku belum mendapatkan asupan makanan, karena padatnya kegiatan di sekolah. Maka tubuhku oleng dan menabrak seorang pria yang berdiri tepat di belakangku, dan refleks pria itu langsung menahan tubuhku yang terjatuh. Aku tak ingat apa-apa lagi, dan saat mataku terbuka aku sudah berada di rumah. “Alhamdulillah na, kamu sudah sadar, mama cemas sekali…. Kamu tuh kebiasaan deh, kalau makan selalu ditunda-tunda, begini kan jadinya, maag kamu kambuh lagi,” protes mamaku. “Iya ma, maaf. Ana janji akan memperhatikan pola makan Ana, oya ma, semalam siapa yang menolong Ana ketika pingsan? ” tanyaku. “Oh, dia anaknya teman ayah sewaktu di SMA, untung saja dia refleks menangkap kamu sehingga kamu tidak jatuh,” jelas mamaku. “Oya, tadinya mama dan ayah mau mengenalkan kamu sama dia, eh kamunya malah pingsan,” mamaku menambahkan. “Oh,,,, begitu…..,” jawabku. Hemphh…. Ya sudahlah, mungkin lain kali aku bisa bertemu dengannya untuk kedua kalinya dan mengucapkan terima kasih karena telah menolongku tadi malam.

Dua hari kemudian kondisiku sudah pulih, dan aku sudah bisa melakukan aktifitasku seperti biasa yaitu mengajar. Dua minggu telah berlalu, kembali di malam minggu yang tenang ini aku masih berkutat dengan pekerjaanku mengecek nilai-nilai atau pun menyiapkan materi pelajaran yang akan aku ajarkan pada hari seninnya. Setelah hampir satu jam berkutat dengan pekerjaanku, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku, aku sudah bisa menebak siapa lagi yang mengetuk kalau bukan mama. Hemm….. aku merasa sedikit curiga dengan mama, rencana apa yang sedang ia persiapkan untukku, karena semenjak kejadian pingsan di pesta waktu itu mama tak henti-hentinya membicarakan tentang pria yang membantuku saat itu. “Ana,,,,, sedang sibuk tidak?”, Tanya mamaku berbasa-basi. “Tidak terlalu ma, masuk saja. Emmm…. Ada apa?”, tanyaku. “Ayah sama mama berencana untuk mengunjungi seorang teman, Ana Ikut ya?”, ajak mamaku. “harus ya ma??? Ana lagi malas keluar…..”, kali ini berusaha menolak. “Tapi na, kali ini ayah dan mama akan pergi ke rumah teman ayah yang anaknya membantumu ketika kamu pingsan di pesta waktu itu, apa kamu tidak mau bertemu dan mengucapkan terima kasih atas pertolongannya?”, mamaku berusaha membujuk dengan memberikan alasan yang membuatku tak dapat menolak, karena memang sedari awal aku ingin mengucapkan terima kasih kepada pria itu. “Oh…. Begitu? Baiklah, Ana ikut deh……, sekalian Ana ingin mengucapkan terima kasih pada pria itu,” maka aku pun bergegas untuk bersiap-siap dan mama pun keluar dari kamarku dengan sebuah senyum yang aneh, seolah-olah senyumnya itu menandakan bahwa misinya telah berhasil membujukku untuk sekali lagi keluar di malam minggu ini.
Perjalanan menuju rumah teman ayah cukup memakan waktu, sekitar 25 menit kami baru sampai di rumah yang di tuju. Rumah yang kami tuju, merupakan rumah yang cukup unik, karena warna dominan dan pernak-pernik yang menghiasi rumah ini merupakan warna kesukaan ku, yaitu biru. Warnanya begitu teduh dan membuat aku merasa sedang berada di rumah sendiri. Setelah beberapa menit melihat-lihat, teman ayah pun keluar bersama anaknya, seorang pria. Aku tak dapat melihatnya karena aku berjalan di belakang ayah. Maka, acara reunian ayah dan temannya pun berlangsung di depan rumah, masing-masing menanyakan kabar dan saling memuji. Hingga tiba saat teman ayah memperkenalkan anak laki-lakinya pada ayah, yang membuatku sedikit penasaran dan ingin segera melihatnya. Dan ketika teman ayah menyebutkan nama pria ini aku pun tersentak, otakku berfikir keras, mencari file nama-nama teman lama yang pernah mampir dalam hidupku. “Perkenalkan, ini anak aku yang laki-laki, sekarang dia udah kerja di Padang sebagai manajer pada sebuah perusahaan periklanan, namanya Gustian Rizki.” Jelas teman ayah.

“Gustian Rizki???”, aku pun mengulangi nama pria itu dan melonggok untuk memastikan pria ini adalah “Ian”. Dan benar saja, pria yang sudah menolongku pada pesta waktu itu adalah Ian. Ia pun pria yang selama ini memenuhi otakku, dan menjadi alasan kenapa sampai detik ini aku masih ingin sendiri, karena aku masih merasa ada hal yang belum aku selesaikan, masih ada yang mengganjal, masih ada cerita yang belum kuselesaikan, ianya terpotong oleh sebuah jarak yang tak kunjung mempersatukan ku dengan pria ini, cinta pertamaku pada pandangan pertama di sebuah acara seminar pendidikan mengenai Pencegahan Narkoba di kalangan Generasi Muda. Selama 7 tahun ia mengisi hari-hariku dengan sebuah pertanyaan “Masih adakah kesempatan untukku bertemu dan menyatakan perasaanku kepadanya?”.

Tujuh tahun yang lalu, aku bertemu dengan Ian dalam sebuah seminar pendidikan. Saat itu aku masih kelas 1, dan ia kelas 3 SMA. Pertemuan ku dengannya berawal dari ketidaksengajaanku menabraknya, aku yang baru pertama kali mengikuti sebuah kegiatan  di kabupaten merasa agak kebingungan ketika mencari tempat duduk, kebetulan aku terpisah dari kelompokku. Dan ketika aku melihat ada tempat duduk yang masih kosong aku mempercepat langkahku dan tanpa sadar aku dan Ian saling berebut tempat duduk dan bertabrakan. Namun sebagai seorang pria, ia memberikan tempat duduk itu kepada ku dan ia memilih untuk duduk di bangku sebelahnya. Setelah itu ia mulai bertanya tentang dari mana aku berasal, kelas berapa dan obrolan-obrolan lainnya sampai-sampai kami bertukar tanda pengenal kami saat seminar, Ian bilang “Nanti, kalau tuhan mengizinkan kita bertemu kembali, kita harus saling menunjukkan kartu pengenal ini ya?”, kata-kata inilah yang membuat aku bertahan sampai detik ini menunggu sebuah kesempatan untuk kembali bertemu dengannya. Dan sepertinya, tuhan mulai luluh melihat kesabaranku menunggu kesempatan kedua dan mempertemukanku sekali lagi dengan cinta pertamaku.

Setelah saling memperkenalkan, ayah diajak temannya untuk masuk. Pada saat itu aku melihat Ian memperhatikanku dengan seksama dan sengaja berjalan agak lambat agar berjalan beriringan denganku. Ia terus memperhatikanku, dan hal ini membuat aku sangat senang karena ini menandakan bahwa ia masih mengingatku, mungkin, namun itulah yang kuharapkan hingga akhirnya ia berteriak histeris yang membuat ayahku dan ayahnya saling kebingungan. “Emmmm…… Ana ya??!!”, Tanyanya dengan sedikit ragu. Aku tak menjawab, aku hanya menatapnya dan tersenyum. Tiba-tiba saja ia memelukku dan berkata “sudah kuduga, sejak pertama kali aku menolongmu di pesta, aku agak familiar dengan wajahmu An,”. Setelah tanpa sadar ia memelukku ia pun melepaskan pelukannya karena sadar sedang diperhatikan oleh ayahku dan ayahnya. “mmmm…. Maaf, aku terlalu senang pak bertemu dengan Ana, sehingga tanpa sadar…..”, Ian berusaha menjelaskan. Aku fikir ayah akan marah namun ia malah terlihat begitu sumringah ketika tahu kami sudah saling mengenal. “Syukurlah kalau kalian sudah saling mengenal, jadi ayah tak perlu repot-repot lagi memperkenalkan kalian,” jawab ayahku. “Kalian mengobrol saja dulu diruang tengah, kami pun juga ingin mengobrol, ayah tinggal ya Ian?” Jelas ayah ian yang langsung saja mengajak ayahku dan mama masuk ke ruang makan.

Ketika ayahku dan ayah Ian sudah masuk, aku langsung membuka dompetku, mencari kartu tanda pengenal Ian sewaktu seminar, dan ia pun sepertinya juga membuka dompetnya. Kami seperti sedang berlomba untuk mencari kartu pengenal itu dan secara bersamaan aku dan Ian menemukan kartu pengenal itu dan saling menunjukkannya. Tak ada kata yang terucap antara aku dan ian, namun mata kami berbicara seolah-olah berkata bahwa “hei, aku masih menyimpannya,” lalu kami pun tenggelam dalam cerita masa lalu dan kehidupan kami selama 7 tahun belakangan hingga hari ini. Hari di mana kami dipertemukan kembali oleh rencana tuhan dan kesempatan kedua. Setelah puas berbincang-bincang dan saling bertukar nomor handphone kami pamit untuk pulang.

Sejak saat itu, hubunganku dengan Ian semakin dekat. Ia sering menelpon atau mengesemesiku hanya untuk mengetahui kabarku. Setiap malam minggu aku tak lagi berkutat dengan pekerjaanku karena Ian akan selalu datang ke rumah untuk mengajakku jalan-jalan, makan-makan, atau mengobrol dan menghabiskan sepanjang malam minggu untuk mengganti waktu tujuh tahun yang telah terlewatkan. Enam bulan telah berlalu, hubunganku dengan Ian semakin membaik, kami memanfaatkan kesempatan ini untuk saling mengenal sampai pada suatu hari Ian melamarku. Dan hari itu merupakan hari yang paling membahagiakan dalam hidupku.

Namun sejak Ian melamarku, sikapnya agak berubah. Tatapan matanya sering terlihat kosong. Tubuhnya mungkin sedang bersamaku namun sepertinya pikirannya tidak, ada hal yang sedang ia fikirkan. Sampai pada suatu hari saat itu hari ulang tahunnya, 5 Agustus 2011. Aku berencana untuk memberikan kejutan dengan tidak memberitahunya atas kedatanganku. Dan saat itu aku melihat Ian sedang memeluk seorang wanita di ruang tengah. Pada saat itu juga hatiku hancur, inikah jawaban atas perubahan yang terjadi pada diri Ian? Ketika ia melihatku, ia langsung melepaskan pelukannya dan berusaha mengejarku. Aku memang bukan pelari yang cepat sehingga ia bisa mengejarku dan menahanku untuk menjelaskan apa yang baru saja terjadi.

“Ana, maaf. Aku tak pernah cerita padamu sebelumnya mengenai... Rika, ia adalah gadis yang selama 2 tahun belakangan ini mengisi hari-hariku, namun cintaku bertepuk sebelah tangan karena ia menyukai pria lain, ketika aku tahu bahwa ia tak mempunyai perasaan apapun padaku aku mulai mencoba membuka hatiku untukmu na,,,,” Ian berhenti sejenak, mengumpulkan segenap kekuatannya untuk melanjutkan kata-katanya dan aku berusaha untuk tak menatap matanya yang hanya akan membuat hatiku semakin pilu. “Kini, ia dalam kesulitan An, aku tak bisa membiarkan ia sendirian, aku harus berada disisinya untuk sementara waktu. Maka, aku harap Ana bisa mengerti jika rencana pernikahan kita diundur untuk beberapa bulan ke depan,” jelasnya.

            Aku tersentak, ia lebih memilih untuk bersama Rika dibandingkan denganku, aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan, yang terlintas dipikiranku saat itu hanyalah, berusaha melepaskan tangannya dari tanganku dan berkata “aku telah cukup lama dan cukup bersabar menunggu kesempatan ini datang, haruskah aku kehilangan kesempatan ini sekali lagi?? Jika ia lebih penting bagimu, pergilah…….. mungkin kau bukan untukku”, setelah mengucapkan kata-kata itu, aku pun pergi meninggalkan Ian dan Rika. Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan, jika memang Rikalah yang terbaik baginya, aku akan mendoakan untuk kebahagiaannya.

            Setahun sudah kulewati hari-hariku tanpa Ian disisiku dan seperti biasa, aku mengisi hari-hariku dengan mengajar. Ternyata anak-anak bisa menjadi obat paling ampuh untuk mengobati rasa sakit dihatiku. Ya, untuk sementara anak-anak mampu mengalihkan pikiranku dari Ian. Hingga pada suatu malam, di acara pesta ulang tahunku yang ke-25 aku menemukan jawaban mengenai pertanyaan terakhirku pada Ian, “haruskah aku kehilangan kesempatan untuk yang kedua kalinya?”. 

Tiba-tiba saja aku mendengar suara yang sangat kukenal lewat sebuah pengeras suara dari luar rumah, ya…. Itu suaranya, Ian sedang berada diluar rumahku dan membacakan sebuah surat ditengah keramaian tamu yang datang dipestaku.

Kepada, wanita yang telah mengajarkan aku tentang arti sebuah kesetiaan “Ayana Putri”: Melalui surat ini, aku memberanikan diri untuk kembali membuka sebuah kesempatan yang mungkin sudah tak lagi pantas untukku. An, aku tau aku telah menyakitimu dengan meninggalkanmu demi wanita lain. Jujur, aku tak pernah sedetik pun tak memikirkanmu, tak terlelap karena air matamu masih membekas dalam ingatanku, tak sepantasnya aku menyakiti wanita yang telah mengajarkan aku arti sebuah kesetiaan dan meyakini sebuah kesempatan yang mungkin saja tak pernah ada. Saat terakhir kali kau pergi meninggalkanku, aku pun memutuskan untuk benar-benar meninggalkan Rika karena aku sadar, berada dibawah bayang-bayang masa lalu hanya akan menyakitiku. An, mungkin aku tak pantas lagi memohon untuk sebuah kesempatan, namun aku berharap mungkin saja masih ada kesempatan ke-3, ke-4 atau lainnya untukku. Selama setahun aku mencoba untuk menantang hatiku, seberapa kuat aku bertahan tanpamu, dan kenyataanya, aku tak bisa hidup tanpamu An, dan untuk terakhir kalinya “Will You marry Me for this last change??”

Aku tak menjawab, yang kulakukan saat itu hanyalah memeluknya, itulah jawabanku atas kesempatan dan rencana yang telah tuhan berikan pada malam ulang tahunku yang indah ini.
The End
3 comments:

Dear Ozaaa,
Boleh kasih masukan dikit gak hihi
Mungkin ceritanya akan lebih catchy kalo gaya percakapannya tidak sinetron-like hehe dan mungkin Cinderella story seperti ini is a way too mainstream kayaknya, eh iya gak sih. Kamu bisa buat ending nya jadi tragedi atau untold mystery yg meninmbulkan perasaan "err" dan gak ketebak sama penbaca. Atau kalo mau happy ending bisa dibuat happy ending yg sederhana tapi manis.

Keep on Ozaaa you roooocckkk!!! :D


hahaha..... arigatou for the comment kaaa....
I'll try to improve the way i write and the content...
Well, actually i don't like sinetron, but my writing sounds sinetron-like hahaha
Yeahhhh.... I will... keep on trying :D


Haaaaahhh bagus:( hikshiks mau nangis tapi gak sedih, mau nangis tapi gabisa haha :D


Labels

Click, then..... see what happen....

Ads 468x60px

Another Transits

Followers

Featured Posts

 

©Copyright 2011 Ozoers | TNB