Ketika kesempatan kedua datang,
mempertemukanku dengan cinta pertama; tak ada lagi alasan untuk mundur
selangkah dan tak mengambil kesempatan itu. Ya, manusia memang berencana, tapi
tuhan yang menentukan. Ia punya rencana yang lebih baik untuk membuat cerita
cinta siapapun menjadi lebih indah.
Malam minggu ini aku sedang menilai hasil ulangan harian murid-muridku pagi tadi, baru
saja memulai mama datang ke kamarku. Ia mengajakku untuk menemaninya dan ayah
ke sebuah pesta pernikahan kerabat kami, awalnya aku menolak namun aku tak
sampai hati tak menuruti kemauan kedua orang tuaku tercinta. “Ayo dong na, sekali-sekali temenin ayah
sama mama ke pesta, lagian kan ini pesta pernikahan sepupu kamu juga, gak enak
kalau tidak datang,” bujuk mamaku. “Tapi
ma, tugas ku masih banyak dan menumpuk, kalau tak dikerjakan sekarang besok aku
keteteran,” jawabku mengelak. “Betul
yang dibicarakan oleh mamamu na,” tiba-tiba ayah sudah berdiri di depan
pintu kamarku, lalu melanjutkan “sekali-sekali
keluar mencari udara segar, apalagi ini kan malam minggu, refreshing sebentar
kan tak apa-apa, jangan terlalu serius lah berkutat dengan pekerjaanmu itu,
seperti tak ada hari esok saja,” ayahku pun menimpali. “Kalau ayah sudah berbicara, Ana tak dapat menolak….. baiklah, aku
siap-siap dulu ya ma, yah?”, jawabku malas-malasan.
Sepuluh menit kemudian kami telah siap untuk berangkat, tempat pesta
pernikahan sepupuku tak begitu jauh dari rumah, hanya cukup 10 menit saja kami
sudah sampai. Begitu memasuki pesta, aku bertemu dengan teman-temanku sewaktu
di SD, maka reunian mendadak pun tak terelakkan. “Hai Ren,,, Rini, apa kabar…. Udah lama gak ketemu. Seneng deh bisa
ketemu kalian disini,” ujarku bersemangat. “Baik na, kami juga gak nyangka kalau Ana datang juga ke sini, kamu
kapan Nyusul na? Aku sama Rini udah duluan tahun kemarin, Jangan kelamaan,”
ledek Rena.
Mendengar ucapan Rena aku hanya tersenyum dan membalas dengan jawaban
yang biasa aku lontarkan ketika mendapatkan pertanyaan seperti ini, ”Nanti aku juga akan segera menyusul jika
sudah ketemu jodohku”. “Ah, kamu na,
jawabannya selalu seperti itu, tapi aku akan berdoa supaya jodoh kamu
cepat-cepat datang, dan segera menyusul kita-kita,” ujar Rini. Dan aku pun
merespon doa Rini dengan mengucapkan “Amin………”.
Memang di usiaku yang ke-24 aku masih sendiri, aku terlalu sibuk dengan duniaku
sebagai guru dan murid-muridku, sampai-sampai aku lupa untuk merencanakan masa
depanku sendiri. Banyak yang mencemaskanku, namun sebenarnya ada hal yang ingin
aku selesaikan terlebih dahulu, sebelum aku memutuskan untuk menikah, yaitu
memastikan bahwa masihkah ada kesempatan untukku dan cinta pertamaku?
Setelah bercanda dengan Rena dan Rini, kepalaku mendadak pusing. Aku
teringat bahwa seharian ini aku belum mendapatkan asupan makanan, karena
padatnya kegiatan di sekolah. Maka tubuhku oleng dan menabrak seorang pria yang
berdiri tepat di belakangku, dan refleks pria itu langsung menahan tubuhku yang
terjatuh. Aku tak ingat apa-apa lagi, dan saat mataku terbuka aku sudah berada
di rumah. “Alhamdulillah na, kamu sudah
sadar, mama cemas sekali…. Kamu tuh kebiasaan deh, kalau makan selalu
ditunda-tunda, begini kan jadinya, maag kamu kambuh lagi,” protes mamaku. “Iya ma, maaf. Ana janji akan memperhatikan
pola makan Ana, oya ma, semalam siapa yang menolong Ana ketika pingsan? ” tanyaku.
“Oh, dia anaknya teman ayah sewaktu di
SMA, untung saja dia refleks menangkap kamu sehingga kamu tidak jatuh,”
jelas mamaku. “Oya, tadinya mama dan ayah
mau mengenalkan kamu sama dia, eh kamunya malah pingsan,” mamaku
menambahkan. “Oh,,,, begitu…..,”
jawabku. Hemphh…. Ya sudahlah, mungkin lain kali aku bisa bertemu dengannya
untuk kedua kalinya dan mengucapkan terima kasih karena telah menolongku tadi malam.
Dua hari kemudian kondisiku sudah pulih, dan aku sudah bisa melakukan
aktifitasku seperti biasa yaitu mengajar. Dua minggu telah berlalu, kembali di
malam minggu yang tenang ini aku masih berkutat dengan pekerjaanku mengecek
nilai-nilai atau pun menyiapkan materi pelajaran yang akan aku ajarkan pada
hari seninnya. Setelah hampir satu jam berkutat dengan pekerjaanku, tiba-tiba
ada yang mengetuk pintu kamarku, aku sudah bisa menebak siapa lagi yang
mengetuk kalau bukan mama. Hemm….. aku merasa sedikit curiga dengan mama,
rencana apa yang sedang ia persiapkan untukku, karena semenjak kejadian pingsan
di pesta waktu itu mama tak henti-hentinya membicarakan tentang pria yang
membantuku saat itu. “Ana,,,,, sedang
sibuk tidak?”, Tanya mamaku berbasa-basi. “Tidak terlalu ma, masuk saja. Emmm…. Ada apa?”, tanyaku. “Ayah sama mama berencana untuk mengunjungi
seorang teman, Ana Ikut ya?”, ajak mamaku. “harus ya ma??? Ana lagi malas keluar…..”, kali ini berusaha
menolak. “Tapi na, kali ini ayah dan mama
akan pergi ke rumah teman ayah yang anaknya membantumu ketika kamu pingsan di
pesta waktu itu, apa kamu tidak mau bertemu dan mengucapkan terima kasih atas
pertolongannya?”, mamaku berusaha membujuk dengan memberikan alasan yang
membuatku tak dapat menolak, karena memang sedari awal aku ingin mengucapkan
terima kasih kepada pria itu. “Oh….
Begitu? Baiklah, Ana ikut deh……, sekalian Ana ingin mengucapkan terima kasih
pada pria itu,” maka aku pun bergegas untuk bersiap-siap dan mama pun
keluar dari kamarku dengan sebuah senyum yang aneh, seolah-olah senyumnya itu
menandakan bahwa misinya telah berhasil membujukku untuk sekali lagi keluar di
malam minggu ini.
Perjalanan menuju rumah teman ayah cukup memakan waktu, sekitar 25 menit
kami baru sampai di rumah yang di tuju. Rumah yang kami tuju, merupakan rumah
yang cukup unik, karena warna dominan dan pernak-pernik yang menghiasi rumah
ini merupakan warna kesukaan ku, yaitu biru. Warnanya begitu teduh dan membuat
aku merasa sedang berada di rumah sendiri. Setelah beberapa menit melihat-lihat,
teman ayah pun keluar bersama anaknya, seorang pria. Aku tak dapat melihatnya
karena aku berjalan di belakang ayah. Maka, acara reunian ayah dan temannya pun
berlangsung di depan rumah, masing-masing menanyakan kabar dan saling memuji.
Hingga tiba saat teman ayah memperkenalkan anak laki-lakinya pada ayah, yang
membuatku sedikit penasaran dan ingin segera melihatnya. Dan ketika teman ayah
menyebutkan nama pria ini aku pun tersentak, otakku berfikir keras, mencari
file nama-nama teman lama yang pernah mampir dalam hidupku. “Perkenalkan, ini anak aku yang laki-laki,
sekarang dia udah kerja di Padang sebagai manajer pada sebuah perusahaan
periklanan, namanya Gustian Rizki.” Jelas teman ayah.
“Gustian Rizki???”, aku pun
mengulangi nama pria itu dan melonggok untuk memastikan pria ini adalah “Ian”.
Dan benar saja, pria yang sudah menolongku pada pesta waktu itu adalah Ian. Ia pun
pria yang selama ini memenuhi otakku, dan menjadi alasan kenapa sampai detik
ini aku masih ingin sendiri, karena aku masih merasa ada hal yang belum aku
selesaikan, masih ada yang mengganjal, masih ada cerita yang belum
kuselesaikan, ianya terpotong oleh sebuah jarak yang tak kunjung mempersatukan
ku dengan pria ini, cinta pertamaku pada pandangan pertama di sebuah acara
seminar pendidikan mengenai Pencegahan Narkoba di kalangan Generasi Muda.
Selama 7 tahun ia mengisi hari-hariku dengan sebuah pertanyaan “Masih adakah
kesempatan untukku bertemu dan menyatakan perasaanku kepadanya?”.
Tujuh tahun yang lalu, aku bertemu dengan Ian dalam sebuah seminar
pendidikan. Saat itu aku masih kelas 1, dan ia kelas 3 SMA. Pertemuan ku
dengannya berawal dari ketidaksengajaanku menabraknya, aku yang baru pertama
kali mengikuti sebuah kegiatan di
kabupaten merasa agak kebingungan ketika mencari tempat duduk, kebetulan aku
terpisah dari kelompokku. Dan ketika aku melihat ada tempat duduk yang masih
kosong aku mempercepat langkahku dan tanpa sadar aku dan Ian saling berebut tempat
duduk dan bertabrakan. Namun sebagai seorang pria, ia memberikan tempat duduk
itu kepada ku dan ia memilih untuk duduk di bangku sebelahnya. Setelah itu ia
mulai bertanya tentang dari mana aku berasal, kelas berapa dan obrolan-obrolan
lainnya sampai-sampai kami bertukar tanda pengenal kami saat seminar, Ian
bilang “Nanti, kalau tuhan mengizinkan kita bertemu kembali, kita harus saling
menunjukkan kartu pengenal ini ya?”, kata-kata inilah yang membuat aku bertahan
sampai detik ini menunggu sebuah kesempatan untuk kembali bertemu dengannya.
Dan sepertinya, tuhan mulai luluh melihat kesabaranku menunggu kesempatan kedua
dan mempertemukanku sekali lagi dengan cinta pertamaku.
Setelah saling memperkenalkan, ayah diajak temannya untuk masuk. Pada
saat itu aku melihat Ian memperhatikanku dengan seksama dan sengaja berjalan
agak lambat agar berjalan beriringan denganku. Ia terus memperhatikanku, dan
hal ini membuat aku sangat senang karena ini menandakan bahwa ia masih
mengingatku, mungkin, namun itulah yang kuharapkan hingga akhirnya ia berteriak
histeris yang membuat ayahku dan ayahnya saling kebingungan. “Emmmm…… Ana ya??!!”, Tanyanya dengan
sedikit ragu. Aku tak menjawab, aku hanya menatapnya dan tersenyum. Tiba-tiba
saja ia memelukku dan berkata “sudah kuduga,
sejak pertama kali aku menolongmu di pesta, aku agak familiar dengan wajahmu
An,”. Setelah tanpa sadar ia memelukku ia pun melepaskan pelukannya karena
sadar sedang diperhatikan oleh ayahku dan ayahnya. “mmmm…. Maaf, aku terlalu senang pak bertemu dengan Ana, sehingga tanpa
sadar…..”, Ian berusaha menjelaskan. Aku fikir ayah akan marah namun ia
malah terlihat begitu sumringah ketika tahu kami sudah saling mengenal. “Syukurlah kalau kalian sudah saling
mengenal, jadi ayah tak perlu repot-repot lagi memperkenalkan kalian,”
jawab ayahku. “Kalian mengobrol saja dulu
diruang tengah, kami pun juga ingin mengobrol, ayah tinggal ya Ian?” Jelas
ayah ian yang langsung saja mengajak ayahku dan mama masuk ke ruang makan.
Ketika ayahku dan ayah Ian sudah masuk, aku langsung membuka dompetku,
mencari kartu tanda pengenal Ian sewaktu seminar, dan ia pun sepertinya juga
membuka dompetnya. Kami seperti sedang berlomba untuk mencari kartu pengenal
itu dan secara bersamaan aku dan Ian menemukan kartu pengenal itu dan saling
menunjukkannya. Tak ada kata yang terucap antara aku dan ian, namun mata kami
berbicara seolah-olah berkata bahwa “hei,
aku masih menyimpannya,” lalu kami pun tenggelam dalam cerita masa lalu dan
kehidupan kami selama 7 tahun belakangan hingga hari ini. Hari di mana kami dipertemukan
kembali oleh rencana tuhan dan kesempatan kedua. Setelah puas
berbincang-bincang dan saling bertukar nomor handphone kami pamit untuk pulang.
Sejak saat itu, hubunganku dengan Ian semakin dekat. Ia sering
menelpon atau mengesemesiku hanya untuk mengetahui kabarku. Setiap malam minggu
aku tak lagi berkutat dengan pekerjaanku karena Ian akan selalu datang ke rumah
untuk mengajakku jalan-jalan, makan-makan, atau mengobrol dan menghabiskan
sepanjang malam minggu untuk mengganti waktu tujuh tahun yang telah
terlewatkan. Enam bulan telah berlalu, hubunganku dengan Ian semakin membaik,
kami memanfaatkan kesempatan ini untuk saling mengenal sampai pada suatu hari
Ian melamarku. Dan hari itu merupakan hari yang paling membahagiakan dalam
hidupku.
Namun sejak Ian melamarku, sikapnya agak berubah. Tatapan matanya
sering terlihat kosong. Tubuhnya mungkin sedang bersamaku namun sepertinya
pikirannya tidak, ada hal yang sedang ia fikirkan. Sampai pada suatu hari saat
itu hari ulang tahunnya, 5 Agustus 2011. Aku berencana untuk memberikan kejutan
dengan tidak memberitahunya atas kedatanganku. Dan saat itu aku melihat Ian
sedang memeluk seorang wanita di ruang tengah. Pada saat itu juga hatiku
hancur, inikah jawaban atas perubahan yang terjadi pada diri Ian? Ketika ia
melihatku, ia langsung melepaskan pelukannya dan berusaha mengejarku. Aku
memang bukan pelari yang cepat sehingga ia bisa mengejarku dan menahanku untuk
menjelaskan apa yang baru saja terjadi.
“Ana, maaf. Aku tak pernah cerita padamu sebelumnya mengenai... Rika,
ia adalah gadis yang selama 2 tahun belakangan ini mengisi hari-hariku, namun
cintaku bertepuk sebelah tangan karena ia menyukai pria lain, ketika aku tahu
bahwa ia tak mempunyai perasaan apapun padaku aku mulai mencoba membuka hatiku
untukmu na,,,,” Ian berhenti sejenak, mengumpulkan segenap kekuatannya untuk
melanjutkan kata-katanya dan aku berusaha untuk tak menatap matanya yang hanya
akan membuat hatiku semakin pilu. “Kini, ia dalam kesulitan An, aku tak bisa
membiarkan ia sendirian, aku harus berada disisinya untuk sementara waktu.
Maka, aku harap Ana bisa mengerti jika rencana pernikahan kita diundur untuk
beberapa bulan ke depan,” jelasnya.
Aku tersentak, ia lebih memilih
untuk bersama Rika dibandingkan denganku, aku tak tahu lagi apa yang harus
kulakukan, yang terlintas dipikiranku saat itu hanyalah, berusaha melepaskan
tangannya dari tanganku dan berkata “aku telah cukup lama dan cukup bersabar
menunggu kesempatan ini datang, haruskah aku kehilangan kesempatan ini sekali
lagi?? Jika ia lebih penting bagimu, pergilah…….. mungkin kau bukan untukku”,
setelah mengucapkan kata-kata itu, aku pun pergi meninggalkan Ian dan Rika. Aku
tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan, jika memang Rikalah yang terbaik
baginya, aku akan mendoakan untuk kebahagiaannya.
Setahun sudah kulewati hari-hariku
tanpa Ian disisiku dan seperti biasa, aku mengisi hari-hariku dengan mengajar.
Ternyata anak-anak bisa menjadi obat paling ampuh untuk mengobati rasa sakit
dihatiku. Ya, untuk sementara anak-anak mampu mengalihkan pikiranku dari Ian.
Hingga pada suatu malam, di acara pesta ulang tahunku yang ke-25 aku menemukan
jawaban mengenai pertanyaan terakhirku pada Ian, “haruskah aku kehilangan
kesempatan untuk yang kedua kalinya?”.
Tiba-tiba saja aku mendengar suara yang sangat kukenal lewat sebuah
pengeras suara dari luar rumah, ya…. Itu suaranya, Ian sedang berada diluar
rumahku dan membacakan sebuah surat ditengah keramaian tamu yang datang
dipestaku.
Kepada,
wanita yang telah mengajarkan aku tentang arti sebuah kesetiaan “Ayana Putri”: Melalui surat ini, aku memberanikan diri
untuk kembali membuka sebuah kesempatan yang mungkin sudah tak lagi pantas
untukku. An, aku tau aku telah menyakitimu dengan meninggalkanmu demi wanita
lain. Jujur, aku tak pernah sedetik pun tak memikirkanmu, tak terlelap karena
air matamu masih membekas dalam ingatanku, tak sepantasnya aku menyakiti wanita
yang telah mengajarkan aku arti sebuah kesetiaan dan meyakini sebuah kesempatan
yang mungkin saja tak pernah ada. Saat terakhir kali kau pergi meninggalkanku,
aku pun memutuskan untuk benar-benar meninggalkan Rika karena aku sadar, berada
dibawah bayang-bayang masa lalu hanya akan menyakitiku. An, mungkin aku tak
pantas lagi memohon untuk sebuah kesempatan, namun aku berharap mungkin saja
masih ada kesempatan ke-3, ke-4 atau lainnya untukku. Selama setahun aku
mencoba untuk menantang hatiku, seberapa kuat aku bertahan tanpamu, dan
kenyataanya, aku tak bisa hidup tanpamu An, dan untuk terakhir kalinya “Will
You marry Me for this last change??”
Aku tak menjawab, yang kulakukan saat itu hanyalah memeluknya, itulah
jawabanku atas kesempatan dan rencana yang telah tuhan berikan pada malam ulang
tahunku yang indah ini.
The End
3 comments:
Dear Ozaaa,
Boleh kasih masukan dikit gak hihi
Mungkin ceritanya akan lebih catchy kalo gaya percakapannya tidak sinetron-like hehe dan mungkin Cinderella story seperti ini is a way too mainstream kayaknya, eh iya gak sih. Kamu bisa buat ending nya jadi tragedi atau untold mystery yg meninmbulkan perasaan "err" dan gak ketebak sama penbaca. Atau kalo mau happy ending bisa dibuat happy ending yg sederhana tapi manis.
Keep on Ozaaa you roooocckkk!!! :D
hahaha..... arigatou for the comment kaaa....
I'll try to improve the way i write and the content...
Well, actually i don't like sinetron, but my writing sounds sinetron-like hahaha
Yeahhhh.... I will... keep on trying :D
Haaaaahhh bagus:( hikshiks mau nangis tapi gak sedih, mau nangis tapi gabisa haha :D
Post a Comment